Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.
Menikah adalah bagian dari perjalanan hidup yang panjang dan berliku. Seseorang yang sudah berani menyatakan untuk menikah, berarti telah siap mengubah perjalanan hidupnya. Dari kesendirian kala tidur, dari kesendirian kala makan malam, dari kesendirian kala melewati hari-hari libur, dari kesendirian kala senang, menjadi tidak sendiri lagi. Akan ada orang lain yang senantiasa menemani kala kesendiriannya. Akan ada rasa tanggungjawab tersemat di dalam hati ketika sebelumnya hidup hanya bagai air yang mengalir. Ya, keputusan menikah adalah keputusan paling penting dan paling bersejarah dalam hidup.
Menikahadalah membenturkan antara realitas dan idealitas. Terkadang apa yang kita bayangkan tentang calon pasangan hidup kita adalah sesuatu yang indah dan sempurna. Namun sesungguhnya apa yang kita angan-angankan itu belum tentu menjadi nyata. Bisa jadi kenyataan di lapangan itu berbeda dengan kenyataan dalam khayalan. Mungkin ada diantara para suami yang “tertipu”. Dulu sebelum menikah, dalam benaknya selalu terbayang bahwa istrinya akan membantu pekerjaannya mencuci baju yang biasa dilakukannya setiap hari. Sambil mengkhayal dia bergumam“Nanti, ketika aku sudah punya istri, biarlah dia yang akan mencucikan bajuku sementara aku akan giat bekerja. Nanti setelah aku pulang bekerja, aku ingin sekali pundakku dipijit oleh lembutnya jari jemari tangannya”. Stop!! Itu khayalan yang lumrah bagi para calon suami. Namun setelah menikah, justru dia yang mencuci baju dan piring karena ternyata tangan istrinya alergi sabun atau deterjen. Pupus pula impiannya ingin dipijit oleh istrinya karena ternyata setiap hari istrinya selalu mengeluh bahwa badannya sering pegal-pegal dan punggungnya sakit. Kini malah dia yang jadi tukang pijit. He..he… Saudaraku, itu realitas. Kita musti menggantungkan angan-angan setinggi langit, tapi jangan lupa bahwa kita masih menginjakkan kaki di bumi.
Semestinya sebelum kita memutuskan siapa yang akan menjadi pasangan hidup kita nanti, sebaiknya kita tidak banyak menghayal akan kenikmatan-kenikmatan dalam pernikahan. Berlebih janganlah kita mengharapkan pasangan kita adalah sosok insan yang sempurna. Sungguh, di dunia ini tidak ada yang sempurna. Bahkan tidak ada orang yang dapat melaksanakan ketakwaan bila saja arti takwa itu sendiri adalah menjalankan semua perintahnya dan menjauhi segala larangannya. Maka cukuplah seseorang itu dikatakan bertaqwa manakala dia sudah berjuang bersungguh-sungguh mengerahkan segala daya upaya dan potensinya untuk mentaati perintahNYA dan menjauhi laranganNYA.
Para pembaca yang dimulyakan Allah, sungguh kesempurnaan itu hanya milik Allah semata. Dan mungkin Takwa itu hanya ada pada jiwa-jiwa malaikat yang senantiasa patuh dan taat terhadap semua perintah juga larangan Allah. Sementara kita, hidup di muka bumi ini dengan sederet kelebihan dan dibatasi pula dengan kekurangan-kekurangannya. Hanya saja ada sekelompok manusia yang pandai menutupi kekurangan dan segera menggantikannya dengan sesuatu yang dapat menjadikannya lebih baik.
Manusia tidak bisa mengimani sebuah ketakwaan. Hanya saja manusia selamanya akan belajar dan berusaha menciptakan arti dari ketakwaan itu sendiri. Mungkin lebih tepatnya arti takwa ialah meletakkan pelindung di tempat antara Anda dengan sesuatu yang Anda takutkan dan sesuatu yang Anda khawatirkan.
Begitupun dengan calon pasangan kita, selamanya tidak ada yang sempurna. Tidak ada gading yang tak retak. Namun pastilah di balik kecacatannya terdapat bunga yang indah di dalam jiwanya. Maka dari itu, seseorang yang mendambakan pasangan hidup yang sempurna, ia tidak akan siap menerima kekurangan pasangannya. Berbeda jauh dengan orang yang menyadari keterbatasan yang sudah menjadi fitrah pada diri manusia, ia tidak akan kaget bila di suatu saat memang benar adanya kekurangan itu. Namun ia, akan sangat menikmati keindahan di balik kekurangan pasangannya. Orang yang siap menerima keterbatasan maka dialah orang yang siap menggapai pernikahan yang sukses.
Tidak sedikit orang yang justru stress setelah beberapa bulan menikah. Bahkan justru mayoritas pasangan rumah tangga, mengalami masa-masa stress tinggi itu ketika 3 sampai 12 bulan pertama menikah. Stress itu mulai berkurang setelah satu tahun pernikahan dan apabila perekonomian keluarga sudah semakin stabil, biasanya stress itu semakin berkurang dan ketenangan berumah tangga mulai terasa manis.
Pembaca yang budiman, sungguh pernikahan itu harus didasari dengan kesiapan mental, karena bila saja mental belum siap maka pernikahan pun akan terasa hambar tidak mengesankan.Dengan menikah kita bisa tahu kekurangan kita, dengan menikah kita bisa tahu karakter pasanganhidup kita, dengan menikah tentu kita akan merasakan betapa nikmatnya dicintai dan mencintai kekurangan juga kelebihan yang dimiliki keduanya. Semua butuh waktu untuk saling melengkapi. Pernikahan harus didasari dengan tekad hati juga kesadaran bahwa kodrat manusia terlahir tidak ada yang sempurna.
